Duduk Perkara Akut: Momen Ajaran Sesat Dan Jalan Rusak Trend

Default Social Share Image

Oleh: Mahyudin An-Nafi

Geger adanya anutan sesat di daerah Pandeglang masih menjadi topik di kancah media nasional. Banyak yang khawatir sekaligus takut akan merebaknya aliran Hakekok tersebut. Pasalnya itu bukan pertama terjadi.

Sebelumnya Polsek Pandeglang berhasil meringkus sekelompok orang yang videonya booming tengah melaksanakan ritual mandi bareng di tempat perkebunan PT Gal.

Video itu cukup telah membuat keresahan dan

Sejujurnya perumpamaan Hakekok ini sudah usang terdengar dari ekspresi ke lisan, hanya saja belum ada pengusutan lebih serius untuk mengungkapnya.

KH. Qurtubi Jaelani misalnya pernah menyingung merebaknya pemikiran yang yakin shalat cukup dengan niat, atau tidak melaksanakan shalat jum’at di mesjid. Cukup berbaring di rumah dan menghayalakan, setelah itu pulang.

Ahamdiyah yang pernah buat ricuh di Cikeusik sana di paruh tahun 2008, telah banyak yang tahu tetapi minus penindakan hingga berujung pada konflik berdarah. Dunia menyorot Indonesia masa itu.

Baca Juga :  Kunjungan Kerja Dpr-Ri Komisi Ix Ke Pandegalang Diskusikan Kesiapan Vaksinasi Covid 19

Membicarakan ajaran sesat, bagi saya, fenomenanya seperti sekali dengan jalan rusak. Bagimana tidak, di mana-mana mudah sekali kita menemukan jalan rusak dan berlubang, tak jarang dekat sekali akrab sentra kekuasaan.

Tapi apa dan bagaimana penindakannya?

Slow and happy saja. Tak peduli gerutu dan keluh, sebagian pejabat negara diam-membisu dan polos belum tahu. Padahal nih, Presiden Jokowi tengah menggenjot sektor infrastruktur untuk meratakan ekonomi bangsa. Fakta di lapangan paradoks dengan harapan.

Jalan rusak paling banter di tambal, itu pun terkesan asal. Kalaupun cepat diperbaiki sebab ada korban kecelakaan yang booming . Setelah banyak disorot gres basuh tangan dengan alibi yang anggun kolam madu gres dipanen.

Begitu pula pemikiran sesat akan cepat disorot jika sudah ramai dibicarakan warga berujung booming , entah kalau tidak viral akankah diberi takaran sama seperti sekarang?

Baca Juga :  Dinsos Klaim Angka Kemiskinan Di Kabupaten Pandeglang Menurun

Menyaksikan itu, jikalau kata Tere Liye Penegak aturan dan pejabat kita lebih suka menanti bola daripda menjemput bola. Lebih cepat bertindak dikala ramai, dan santai bila sepi sorotan. Ujungmya persoalan sosial, aturan, dan politik tak kelar- hingga menunggu momen booming di penduduk .

Apakah sedemikian rancu mutu hukum kita?

Di pasal 24 ayat (1) UU No. 22 menyebutkan bahwa pegawanegeri terkait bisa diseret ke meja hijau jikalau membiarkan jalan rusak. Kalau ada jalan rusak sekalipum belum diperbaiki setidaknya mesti diberi palang/tanda sebagai pengingat bagi pengguna jakan.

Di ayat tersebut jelas menyebutkan kalau jalan rusak mengakibatkan kecelakaan maka aturan menunggu aparatur terkait dengan aturan dari 6 bulan – 5 tahun. Dengan denda 1,5 juta hingga 120 juta.

Kalau saja UU ini tegas, cepat, serius diterapkan di seluruh daerah Indonesia mungkin kita tak akan melihat ibu muda di penggarangan Lebak kehilamgan bayinya alasannya terusan jalan dari rumah ke Puskesmas sekitar 7 km tak bisa diakses kendaraan beroda empat, dia hanya tergeletak dirandu.

Baca Juga :  Laskar Banten Siap Dukung Paslon Irna-Tanto Di Pilkada Pandeglang

Atau kita masih ingat saat penjualsayuran di jalan dekat sangkar sapi, Serang, dibegal oleh pemuda mabuk berujung padanya pembunuhan dan pelecehan seksual. Tak lain, jalan di sana rusak, korban memilih jalan yang patut. Saat itulah dicegat pelaku, maka terjadi hal yang tak diharapkan.

Dan tentu masih banyak lagi masalah di lapangan yang menunggu sentuhan pemegang jabatan. Solusinya tak lain merekontruksi birokrasi dan tabiat kita. Mengetuk kesadaran kita.

Amanah yang sekarang dipegang wajib ditunaikan semestinya. Tanpa harus menanti momen. Tanpa harus menuggu korban. Tanpa menanti viral. Karena pro blem tak akan simpulan dengan kesepakatan dan klaim belaka. Wallahu a’lam.

Pandeglang, 20 Maret 2021