Jenis Jenis Teater Tradisional Nusantara

KABARPANDEGLANG.COM – Teater tradisional merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan yang dilakukan secara turun temurun. Pada pertunjukan teater tradisional jarang memakai naskah secara tertulis. Pada pemain telah hapal dengan dialog yang akan dilakukan di atas panggung. Mereka melaksanakan lokan pertunjukan dari tahun ke tahun sebagai bagian dari kehidupan.

Salah satu ciri dari teater tradisional adalah proses kreatifnya didukung oleh system kebersamaan, tidak ada penonjolan individu sebagai pencipta “karya”, yang lahir dan muncul yaitu bahwa karya tersebut dilakukan bersama, semua dikerjakan bersama.

Teater tradisonal Indonesia pada umumnya tidak menggunakan naskah kisah, naskah yang ada hanya garis besar kisah. Kelebihan teater tradisional yakni memperlihatkan keleluasaan bagi pemain untuk mengembangkan permainan sebebasnya sesuai dengan kemampuan improvisasinya, dan menuntut pemain untuk hapal cerita di luar kepala.

Sedangkan kelemahannya yaitu cerita tidak terkontrol baik waktu maupun batasan obrolan tiap tugas. Tanpa adanya naskah, karya seni yang merupakan ekspresi dan inspirasi seniman tidak mampu terdokumentasikan.

A. Bentuk-Bentuk Teater Tradisonal Indonesia

1. Wayang Orang

Wayang orang atau wayang wong (bahasa Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan memakai orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut. Wayang orang diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731. Wayang orang merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan tradisional Jawa, khususnya Jawa Tengah.

Wayang orang merupakan bentuk kesenian tradisional yang multimedia sebab berbagai media seni menjadi bagian dari pertunjukan wayang Orang. Contohnya seni sastra (naskah/kisah), musik (gamelan/tembang), drama (akting dan obrolan), tari (gerakan/ tarian), serta rupa (property/busana/rias). Gamelan untuk pertunjukan ditabuh oleh nayaga dan tembang dinyanyikan oleh sinden.

Cerita yang dimainkan didasarkan pada cerita Mahabrata dan Ramayana yang mengandung pesan watak, dan sudah menyatu dalam jiwa masyarakat setempat. Tata panggungnya yang unik dan eksotis membuat penonton serasa terbawa kembali ke zaman dahulu.

Para pemain memakai pakaian sama mirip hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau berdiri muka mereka menyerupai wayang kulit (jika dilihat dari samping), sering kali pemain wayang orang ini diubah/dihias mukanya dengan aksesori gambar atau lukisan.

2. Ketoprak

Ketoprak ialah teater rakyat yang berkembang di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta dan sekitarnya. Bentuk pertunjukan Ketoprak mirip dengan wayang orang. Keunikannya juga terletak pada penggunaan layar belakang dengan aneka macam gambar sebagai setting, juga penggunaan properti mirip kelengkapan rumah seperti bangku, meja dan perabotan biasa hadir di pentas.

Lakon yang dibawakan merupakan dongeng rakyat, kisah keseharian dan cerita kepahlawanan. Unsur lawakan atau humor masih ada, namun gerakan/ tariannya lebih sederhana dan waktu petunjukannya lebih singkat.

Teater tradisional merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan yang dilakukan secara turu Jenis Jenis Teater Tradisional Nusantara

Tema cerita dalam sebuah pertunjukan ketoprak bermacam-macam. Biasanya diambil dari dongeng legenda atau sejarah Jawa. Banyak pula diambil kisah dari luar negeri. Tetapi tema cerita tidak pernah diambil dari repertoar kisah epos (wiracarita): Ramayana dan Mahabharata. Sebab nanti pertunjukan bukan ketoprak lagi melainkan menjadi pertunjukan wayang orang.

Beberapa pola lakon dalam ketoprak antara lain : Ki Ageng Mangir, Ande – Ande Lumut, Aryo Penangsang, Joko Tarup, Joko Tingkir, Cindelaras Adu, Joko Kendil, Lesmono Gandrung, dan Siti Jenar Tanding.

3. Ludruk

Ludruk merupakan teater rakyat yang berkembang di kawasan Jawa Timur dan sekitarnya. Pertunjukan ludruk hampir sama dengan teater ketoprak dari Jawa Tengah, tetapi yang menjadi keunikan teater Ludruk tradisional yang orisinil ialah semua pemainnya pria, artinya peran perempuan pun dimainkan oleh laki-laki. Ludruk diawali dengan tarian yang ditarikan sambil bernyanyi dan disebut tari Ngremo. Kemudian dilanjutkan dengan kisah yang diselingi lelucon.

Baca Juga :  Pertumbuhan Dan Perkembangan Abad Dewasa

Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang dipergelarkan di sebuah panggung dengan mengambil kisah tentang kehidupan rakyat sehari-hari, kisah usaha, dan sebagainya yang diselingi dengan lelucon dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.

Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan menciptakan penontonnya tertawa, memakai bahasa khas Surabaya. Bahasa lugas yang dipakai pada ludruk, membuat ia gampang diserap oleh kalangan banyak sekali kalangan.

4. Lenong Betawi

Lenong yakni bentuk teater rakyat yang paling populer diwilayah Betawi. Teater ini sudah menggunakan unsur panggung, dekor dan properti adalah berupa satu meja dan dua kursi. Lama pertunjukan dapat dilaksanakan sekitar 3 jam.

Berdasarkan isi ceritanya Lenong mampu digolongkan menjadi Lenong Dines dan Lenong Preman.

  • Lenong Dines ialah lenong yang mempergunakan obrolan dalam bahasa melayu Tinggi dan dongeng yang dibawakan ialah dongeng-cerita hikayat usang, latar belakang kisah berlangsung di istana – istana dengan tokoh- tokoh mirip Raja, Pangeran, Puteri Jin-jin dan lain-lain.
  • Lenong Preman ialah lenong yang mempergunakan obrolan bahasa betawi sehari-hari juga cerita yang akrab dengan dilema kehidupan rakyat mirip kehidupan dilingkungan masyarakat kampung, rumah tangga, dll. Unsur humor dan dagelan sangat mayoritas.
Struktur Pertunjukan Lenong
  • Pembukaan. Suatu pertunjukan lenong betawi dibuka dengan lagulagu instrumentalia. irama gambang kromong pada pembukaan berfungsi sebagi pemberitahuan bahwa ditempat tersebut ada pertunjakan lenong.
  • Hiburan. Hiburan, sesudah instrumentalia dirasa cukup maka pertunjukan dilanjukan dengan hiburan yang diisi dengan pembukaan dan dongeng, merupakan pertunjukan nyanyi. Penyanyi membawakan lagu-lagu pop betawi dan dangdut. Pada dikala ini penyanyi meminta saweran dari penonton.
  • Lakon dan kisah.. Setelah final acara hiburan barulah meningkat pada kisah. Cerita yang dipentaskan ditentukan oleh sutradara sekaligus biasanya merangkap pimpinan rombongan. Pementasan dibagi dalam beberapa babak, berdasarkan istilah setempat dinamakan drip.

Kesenian tradisional Lenong diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik mirip gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa mirip tehyan, kongahyang, dan sukong.

Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan adab, ialah menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang dipakai dalam lenong yakni bahasa Melayu (atau sekarang bahasa Indonesia) dialek Betawi.

5. Teater Dul Muluk

Teater Dul Muluk yaitu teater tradisional yang berkembang di tempat Sumatra selatan dan sekitarnya. Bentuk dan ciri pementasan Dul Muluk selalu diiringi dengan musik yang khas seperti; Biola, gendang melayu, terompet dll. Permainan akting dilakukan dengan improvisasi.

Materi pokok cerita diambil dari hikayat Abdul Muluk. Musik, tari dan dagelan merupakan bagian yang menyatu dalam pertunjukan. Bahasa yang di gunakan ialah Bahasa Melayu. Seluruh pemain pria, tugas perempuan pun dimainkan laki-laki.

Teater Abdul Muluk pertama kali terinspirasi dari seorang pedagang keturunan arab yang bernama Wan Bakar. Dia datang ke Palembang pada kurun ke-20 lalu menggelar pembacaan kisah petualangan Abdul Muluk Jauhari, anak Sultan Abdul Hamid Syah yang bertakhta di negeri Berbari.

Sejak itu Wan Bakar sering diundang untuk membacakan cerita-dongeng wacana Abdul Muluk pada berbagai perhelatan, seperti program perkawinan, khitanan atau syukuran dikala pertama mencukur rambut bayi.

Baca Juga :  Macam Macam Perangkat Lunak Pengolah Angka

Bersama murid-muridnya, antara lain Kamaludin dan Pasirah Nuhasan, Wan Bakar lalu memasukkan unsur musik gambus dan terbangan (sejenis musik rebana) sebagai pengiring. Bentuk pertunjukan pun diperkaya.

6. Randai

Randai yaitu salah satu teater tradisional yang berkembang di daerah Sumatra Barat. Bentuk pertunjukan Randai, merupakan perpaduan gerakan Tarian teladan silat minangkabau dan kisah yang bersumber dari tradisi Bakaba. Lagu gurindam dan penyampaian liris kaba diiringi alat musik rabab, saluang dan kecapi khas Sumatra Barat.

Randai mengadopsi gaya penokohan dan dialog dalam sandiwara-sandiwara, seperti kelompok Dardanela. Randai dimainkan secara berkelompok dengan membentuk bulat, lalu melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan dongeng dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian.

Cerita randai biasanya diambil dari kenyataan hidup yang ada di tengah masyarakat. Fungsi Randai sendiri ialah sebagai seni pertunjukan hiburan yang didalamnya juga disampaikan pesan dan hikmah. Cerita yang dibawakan, seperti dongeng Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Randai ini bertujuan untuk menghibur masyarakat yang biasanya diadakan pada ketika pesta rakyat atau pada hari raya Idul Fitri.

7. Mamanda

Teater Tradisional Mamanda berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Tahun 1897, datanglah rombongan Bangsawan Malaka ke Banjar Masin, yang ceritanya bersumber dari syair Abdoel Moeloek. Meskipun masyarakat Banjar sudah mengenal wayang,  topeng, joget, Hadrah, Rudat, Japin, tapi rombongan Bangsawan ini mendapat tempat tersendiri di masyarakat.

Pada perkembangannya nama Bangsawan merubah menjadi Badamuluk. Dan berkembang lagi menjadi Bamanda atau mamanda. Kata Mamanda berasal dari kata “mama” berarti paman atau pakcik dan “nda” berarti “yang terhormat”. Mamanda berarti “Paman yang terhormat”.

Struktur dan perwatakan pada tontonan Mamanda hingga sekarang tidak berubah. Yang berubah hanyalah tata busana, tata musik dan ekspresi artistiknya. Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi kekerabatan yang terjalin antara pemain dengan penonton.

Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur dongeng kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku mirip Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/tangan kanan), Permaisuri dan Sandut (Putri).

Tokoh-tokoh di atas wajib ada dalam setiap pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain mirip Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh suplemen lain guna memperkaya dongeng.

Dialog Mamanda lebih kepada improvisasi pemainnya. Sehingga spontanitas yang terjadi lebih segar tanpa ada naskah yang mengikat. Namun, alur cerita Mamanda masih tetap dikedepankan. Disini Mamanda mampu dimainkan dengan naskah yang utuh atau inti ceritanya saja.

8. Mak Yong

Teater tradisional makyong berasal dari pulau Mantang, salah satu pulau di daerah Riau. Pada mulanya tontonan makyong berupa tarian dan nyanyian, tapi pada perkembangannya kemudian dimainkan kisah-kisah rakyat, legenda-legenda dan kisah-cerita kerajaan. Mak Yong juga digemari oleh para bangsawan dan para sultan, sehingga sering dipertontonkan di istana-istana.

Pertunjukan Mak Yong dibawakan kelompok penari dan pemusik profesional yang menggabungkan banyak sekali unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik dengan vokal atau instrumental, dan naskah yang sederhana. Tokoh-tokoh lain yang muncul dalam cerita contohnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan hewan. Pertunjukan mak yong diiringi alat musik seperti rebab, gendang, dan tetawak.

Baca Juga :  Dampak Keunggulan Lokasi Terhadap Aktivitas Transportasi

Tontonan Mak Yong diawali dengan upacara yang dipimpin oleh seorang panjak (pawang) supaya semua yang terlibat dalam persembahan diberi keselamatan. Unsur humor, tari, nyanyi dan musik mendominasi tontonan.

Tidak seperti tontonan teater tradisional yang lain, dimana umumnya dimainkan oleh pria, pada tontonan Makyong yang mendominasi justru wanita. Kalau pemain pria muncul, mereka selalu menggunakan topeng, sementara pemain perempuan tidak memakai topeng. Cerita lakon yang dimainkan berasal dari sastra ekspresi berupa cerita dan legenda yang sudah dikenal oleh masyarakat.

9. Kondobuleng

Kondobuleng merupakan teater tradisional yang berasal dari suku Bugis, Makassar. Kondobuleng berasal dari kata kondo (bangau) dan buleng (putih). Kondobuleng berarti bangau putih. Tontonan Kondobuleng ini mempunyai makna simbolis. Sebagaimana teater tradisional umumnya, tontonan Kondobuleng juga dimainkan secara impulsif. Ceritanya simbolik, tentang manusia dan burung bangau. Dan dimainkan dengan gaya lawakan, dagelan yang dipadukan dengan gerak stilisasi.

Pada awalnya ujuan memainkan Kondobuleng yaitu untuk mengajak masyarakat untuk melaksanakan perlawanan kepada Belanda (penjajah) tanpa harus dicurigai oleh pemerintah yang berkuasa saat itu. Maka di ciptakanlah simbol-sibol dalam pertunjukan antara lain ialah kondobuleng (bangau putih) dan juga tokoh Tuang (orang Belanda).

Kesenian ini dipentaskan di istana raja dan di kampung-kampung. Rombongan kesenian kondobuleng keluar masuk kampung memenuhi usul masyarakat yang melaksanakan hajatan tanpa menerima hambatan dari pemerintahan kolonial. Karena rombongan kesenian ini telah mendapat kartu/surat izin.

Bagian unik dari tontonan ini yakni tidak adanya batas antara abjad dengan properti yang berlangsung pada adegan tertentu. Mereka pelaku, tapi pada adegan yang sama mereka yakni perahu yang sedang mengarungi samudera. Tapi pada saat itu pula mereka yaitu juga penumpangnya.

10. Arja

Arja yaitu semacam opera khas Bali, merupakan sebuah dramatari yang dialognya ditembangkan secara macapat. Di antara yang banyak itu, salah satunya ialah Arja. Arja juga merupakan teater tradisional Bali yang bersifat kerakyatan. Penekanan pada nontonan Arja yakni tarian dan nyanyian. Pada awalnya tontonan Arja dimainkan oleh pria, tapi pada perkembangannya lebih banyak pemain wanita, alasannya penekanannya pada tari.

Nama Arja diduga berasal dari kata Reja (bahasa Sanskerta) yang berarti “keindahan”. Gamelan yang biasa dipakai mengiringi Arja disebut “Gaguntangan” yang bersuara lirih dan merdu sehingga dapat menambah keindahan tembang yang dilantunkan oleh para penari.

Arja diperkirakan muncul pada tahun 1820-an, pada kala pemerintahan Raja Klungkung, I Dewa Agung Sakti. Menjelang berakhirnya abad 20 lahirlah Arja Muani, dimana semua pemainnya pria, sebagian memerankan perempuan. Arja ini disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat, terutama alasannya adalah menghadirkan komedi segar.

Arja umumnya mengambil lakon dari Gambuh, yakni; yang bertolak dari dongeng Gambuh. Namun pada perkembangannya dimainkan juga lakon dari Ramayana dan Mahabharata. Tokoh- tokoh yang muncul dalam Arja yakni Melung (Inye, Condong) pelayan perempuan, Galuh atau Sari, Raja Putri, Limbur atau Prameswari, mantri dan lain sebagainya.

Terima kasih telah membaca artikel di website kabarpandeglang.com, semoga bisa memberikan informasi yang bermanfaat bagi kamu dan bisa dijadikan referensi. Artikel ini telah dimuat pada kategori pendididkan https://kabarpandeglang.com/topik/pendidikan/, Jangan lupa share ya jika artikelnya bermanfaat. Salam admin ganteng..!!