YA AMPUN : Indonesia Terancam Tak Lagi Punya Warga yang Mau Jadi Petani Pada 2063 – Berdasarkan prediksi Bappenas, skenario buruk ini dipengaruhi alih fungsi lahan, perubahan iklim, dan berpindahnya keluarga petani ke industri lain.
Indonesia diprediksi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) akan kehilangan sepenuhnya warga yang menjalankan profesi sebagai petani pada 2063. Perkiraan suram itu bakal terwujud, bila kondisi industri pangan nasional tetap seperti kondisi saat ini hingga nyaris setengah abad mendatang.
Berdasarkan data 1976, sebanyak 65,8 persen masyarakat Indonesia bekerja di sektor pertanian. Sementara, dari data Badan Pusat Statistik tahun 2019, jumlahnya turun drastis menjadi tinggal 28 persen.
“Apabila kita menggunakan tren ini dalam perhitungan linear, tentu saja hasilnya cukup mencengangkan, mungkin di 2063 tidak ada lagi yang berprofesi sebagai petani seperti yang kita kenal. Mudah-mudahan hal ini bisa kita lawan,” ujar Plt Direktur Pembangunan Daerah Kementerian PPN/Bappenas Mia Amalia dalam webinar, seperti dikutip Kompas.com.
Tren negatif pada sektor pertanian nasional ini dipengaruhi berbagai faktor. Salah satunya, peralihan profesi keluarga petani secara masif ke sektor ekonomi lain. Jika melihat data, pekerja di sektor jasa mengalami kenaikan pesat yaitu dari 23,57 persen pada 1976, menjadi 48,91 persen di tahun 2019.
Meski begitu, perpindahan profesi ini bukan karena bayaran di sektor jasa selalu lebih tinggi daripada hasil bertani. Faktor terbesar, menurut pantauan Bappenas, adalah alih fungsi lahan. Luasan lahan pertanian secara nasional terus menurun, berubah menjadi lahan sawit, pabrik, perumahan, dan berbagai fungsi lainnya. Padahal industri pangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap penduduk.
“Kebutuhan akan pangan yang berkualitas perlu diimbangi dengan ketersediaan pangan yang memadai. Namun kenyataan yang terjadi, tren penggunaan lahan untuk pertanian semakin menurun, apabila dilihat dari alih fungsi lahan yang semakin meningkat,” imbuh Mia Amalia.
Perubahan iklim juga mempengaruhi dinamika di industri pertanian, khususnya bagi petani beras yang jadi makanan pokok kawasan Asia Tenggara. Seorang petani di Malaysia mengaku perubahan iklim menyebabkan kesulitan yang lebih tinggi dalam menanam beras.
Meski penyebab yang satu ini merupakan faktor eksternal yang tak kalah kompleks, hal ini tentu menjadi tantangan baru bagi para petani dan ada kemungkinan mendorong petani mencari profesi lain yang keberhasilannya tidak bergantung pada iklim.
Data ini berkebalikan dari pernyataan Presiden Joko Widodo, bahwa minimnya anak muda bersedia jadi petani akibat gengsi. Pernyataan itu disampaikan presiden saat pidato pada 29 Oktober 2020.
Berkaca pada data-data yang ada, ambisi mengulang mitos keberhasilan swasembada pangan semu seperti era Orde Baru sulit dipertahankan. Normal baru bagi bangsa ini adalah kemungkinan impor mayoritas bahan pangan. Meski begitu, impor pun masih dianggap tabu dan jadi perdebatan politik. Rencana Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan M. Lutfi mengimpor beras, sejak awal Maret 2021, sudah ramai ditolak berbagai pihak, termasuk beberapa gubernur yang wilayahnya berstatus lumbung padi.
Peringkat tingkat ketahanan Indonesia, menurut lembaga Global Food Security Index (GSFI) asal Amerika Serikat, menempati urutan ke-65 dari 113 negara pada survei 2020. Artinya, tidak semua masyarakat Indonesia dapat mengakses makanan yang cukup, aman, bergizi, sesuai kebutuhan dan preferensi merujuk definisi ketahanan pangan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di bawah naungan PBB.
Dari kacamata alat ukur lain, yaitu Food Sustainability Index dari tim riset Economist EIU dan Barilla Center for Food & Nutrition, Indonesia lagi-lagi tidak memiliki prospek yang bagus. Indonesia menduduki peringkat ke 60 dilihat dari keberlangsungan sistem pangan. Indeks tersebut berdasarkan pada tiga kategori, yaitu limbah dan buangan makanan, keberlanjutan pertanian, serta tantangan gizi. Meski tidak baik membanding-bandingkan, supaya ada gambaran, posisi ini tertinggal jauh dari Etiopia di peringkat 27 dan Zimbabwe di urutan 31.
Beberapa kepala daerah berusaha menciptakan insentif agar anak muda bersedia jadi petani. Contohnya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yang pada Januari lalu menawarkan modal usaha bagi 5.000 pemuda untuk bertani di beberapa desa percontohan.
Gubernur akrab disapa Kang Emil itu mengklaim hasil tanamnya akan dibeli oleh PT Agro Jabar. “Tanah subur masing-masing dipinjamkan 2.000 meter persegi dari Pemprov. Modal dari Bank BJB dan hasil langsung dibeli oleh Agro Jabar,” ujarnya, seperti dikutip CNN Indonesia. Sejauh ini belum ada kabar lagi perkembangan program dari pemprov Jabar tersebut.